a. Pengertian Demokrasi
Demokrasi
berasal dari bahasa Yunani, yaitu
demos dan cratos
atau cratein.
Demos artinya rakyat
yang tinggal di suatu tempat
(wilayah). Cratos
atau cratein artinya
kekuasaan. Demokrasi berarti
rakyat
yang berkuasa. Demokrasi merupakan suatu pemerintahan yang
kekuasaan tertinggi
dipegang oleh rakyat (government or rule by the
people).
Saat ini demokrasi telah dikenal dan dianut oleh negara-negara
di
dunia. Popularitas demokrasi tidak terlepas
dari pendapat Abraham
Lincoln, Presiden Amerika Serikat tahun 1861–1865,
yang menyatakan
bahwa
demokrasi adalah pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan
untuk
rakyat (government from the people, by
the people, and for the
people).
Berdasarkan
pengertian di atas, maka demokrasi dapat
diartikan
sebagai
bentuk pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi (kedaulatan)
berada
di tangan rakyat. Demokrasi dapat dilaksanakan baik secara
langsung (direct democracy) atau tidak langsung (indirect democracy).
Disebut
demokrasi langsung apabila rakyat melaksanakan kekuasaan
pemerintahan
secara langsung. Disebut demokrasi tidak
langsung
(indirect
democracy), apabila kekuasaan pemerintahan dilaksanakan
oleh
para wakil rakyat yang dipilih melalui pemilan umum secara
periodik.
Negara
dengan sistem pemerintahan demokrasi
mengatur dan
membagi semua kekuasaan yang ada
berdasarkan konstitusi (hukum
dasar),
baik yang tertulis (undang-undang dasar) maupun yang tidaktertulis (konvensi).
Pengaturan berdasarkan konstitusi tersebut bertujuan
untuk
menghindari terjadinya penyalah-gunaan kekuasaan oleh para
wakil
rakyat yang dipercaya demi kepentingan diri sendiri dan/atau
kelompoknya.
Pemerintahan demokrasi memberikan jaminan
perlindungan
kepada rakyat berdasarkan konstitusi
untuk
mengekspresikan
kemampuannya dalam berbagai aspek kehidupan
secara
bebas dan bertanggung-jawab sebagai wujud partisipasinya
dalam
kegiatan kenegaraan.
b. Ciri-ciri Demokrasi
Negara yang
menganut sistem pemerintahan demokrasi dapat
dikenali dengan ciri-ciri
berikut ini.
1) Adanya pembagian kekuasaan yang jelas dan
tegas serta
perlindungan kepada rakyat
untuk berpartisipasi dalam kegiatan
kenegaraan.
2) Adanya
aturan hukum yang menjamin keadilan bagi seluruh rakyat
dalam memperjuangkan
hak-haknya secara bebas dan
bertanggung-jawab.
3) Adanya hubungan antara rakyat dengan para
wakilnya di parlemen
(lembaga
perwakilan rakyat) untuk memperjuangkan
aspirasinya
dalam
memperoleh kebebasan, keadilan,
keamanan, dan distribusi
kesejahteraan
4) Adanya jaminan bagi seluruh rakyat untuk
memperoleh
kesejahteraan,
seperti kesempatan yang sama dalam
menikmati
hasil-hasil
pembangunan di berbagai aspek kehidupan.
5) Adanya perlindungan keamanan bagi seluruh rakyat untuk hidup,
berusaha,
berpendapat, berkreasi, berkarya, dan bermasyarakat.
6) Adanya media komunikasi yang bebas dan
bertanggung-jawab
sebagai
sarana untuk menyalurkan aspirasi rakyat dalam
memperoleh
kebebasan, keadilan, keamanan, dan distribusi
kesejahteraan (H. Udin S. Winataputra, 2004: 73; Nur Wahyu
Rochmadi,
2003: 107-109; Muladi dalam Anang Priyanto, 2001: 8)
c. Macam-macam Demokrasi
Ditinjau
dari pelaksanaan atau cara penyaluran aspirasi rakyat,
demokrasi
dibedakan antara demokrasi langsung dan tidak langsung.
1) Demokrasi langsung (direct democracy), merupakan bentuk
pemerintahan
yang memberikan kekuasaan kepada rakyat untuk
ikut
berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan kenegaraan atau
ikut
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan pemerintahan
dalam
rangka menentukan kebijakan umum (public policy) sebagai
bentuk
jaminan perlindungan kepada rakyat dalam menyalurkan
aspirasinya.
2) Demokrasi tidak langsung (indirect democracy) atau demokrasi
perwakilan (representative democracy), merupakan bentuk
pemerintahan
yang memberikan kekuasaan kepada para
wakil
rakyat
yang duduk dalam lembaga perwakilan rakyat untuk
melaksanakan kegiatan kenegaraan dalam rangka menentukan
kebijakan
publik. W akil-wakil rakyat yang
duduk dalam lembaga
perwakilan
tersebut dipilih melalui
pemilihan umum yang
dilaksanakan
oleh pemerintah secara periodik (Anang Priyanto,
2001:
10). Dilakukannya demokrasi tidak
langsung tersebut karena
pertimbangan
banyaknya jumlah penduduk dan kompleksitas
permasalahan
yang dihadapi masyarakat modern dewasa
ini.
Dalam
menjalankan kekuasaan para wakil rakyat harus tuduk dan
patuh
pada kepentingan dan aspirasi rakyat.
Ditinjau dari latarbelakang budaya politik, ideologi,
dan hitoris
dari negara-negara yang menganut sistem
pemerintahan demokrasi,
serta penekanannya
pada kepentingan individu atau kepentingan
kelompok, maka demokrasi dibedakan antara demokrasi
konstitusional
yang
liberalis dan demokrasi rakyat atau sosialis.
1) Demokrasi Konstitusional
Demokrasi
konstitusional yang berkembang pada abad
ke-19
didasarkan
pada faham kebebasan (individualisme)
yang membatasi
kekuasaan
pemerintah dengan konstitusi
(constutional government,
limited
government, restrained government)
sebagai jaminan
perlindungan
terhadap hak asasi warga negara. Berdasarkan konstitusi,
kekuasaan
dalam negara dibagi-bagi dan diserahkan kepada beberapa
badan
atau lembaga kenegaraan sebagai upaya untuk menghindari
terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan. Untuk itu,
konstitusi sebagai
perwujudan
hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan
pejabat
pemerintah (government by laws, not by men).
Negara
atau pemerintah dalam sistem demokrasi
konstitusional
tidak
boleh campur tangan dalam kehidupan rakyatnya apalagi bertindak
sewenang-wenang,
kecuali untuk mengurus kepentingan umum.
Negara
yang kekuasaannya dibatasi hanya di bidang politik saja, tanpa
memperhatikan
bagaimana rakyat memenuhi kebutuhan atau
kesejahteraannya
seperti itu disebut “negara penjaga malam”
(Nachtwachtersstaat).
Menurut
aliran Eropa Barat Kontinental, negara penganut faham
liberal
disebut negara hukum (Rechtsstaat)
dan menurut aliran Anglo
Saxon disebut negara hukum klasik (Rule of Law). Menurut Immanuel
Kant
dan F.J. Stahl, ahli hukum Eropa Barat dinyatakan bahwa
Rechtsstaat
memiliki unsur-unsur sebagai berikut.
a) Hak-hak manusia.
b) Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk
menjamin hak-hak
manusia oleh undang-undang
(UU).
c) Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan.
d) Peradilan administrasi dalam menyelesaikan
perselisihan antara
pemerintah dan warga
negara.
Pada abad ke-20,
berkembang faham sosialisme sebagai akibat
kecaman terhadap
eksistensi liberalisme. Kemenangan
partai sosialis di
Eropa (Swedia dan
Norwegia) melahirkan gagasan
baru, negara yang
membatasi kekuasaan hanya
di bidang politik berubah menjadi gagasan
bahwa negara turut bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat, yaitu
aktif menaikkan taraf
kehidupan ekonomi dan sosial warga negaranya.
Fungsi negara sebagai perjaga malam (Nachtwachtersstaat) berubah
menjadi negara kesejahteraan (Welfare State) atau negara yang
memberikan pelayanan kepada
masyarakat (Social Service State).
Lahirlah demokrasi konstitusional yang mengutamakan kesejahteraan
dan pelayanan kepada
masyarakat.
Demokrasi konstitusional
tersebut dalam perkembangannya di
negara-negara Asia termasuk
Indonesia mengalami kesulitan, yaitu
mengakibatkan instabilitas
politik, kegoncangan sosial, ekonomi,
dan
keamanan. Kesulitan
tersebut terjadi karena di negara-negara yang
sedang berkembang tidak
didukung oleh faktor-faktor yang dapat
membantu perkembangan
demokrasi seperti di dunia Barat yang
telah
maju, yaitu:
a) presentase buta huruf yang rendah;
b) keadaan ekonomi yang mencukupi;
c) homogesitas sosial;
d) klas menengah (middle class) yang kuat; dan
e) masa damai yang cukup panjang.
2) Demokrasi Rakyat (Proletar)
Demokrasi rakyat
didasarkan pada ajaran Marxisme-Leninisme
yang menghendaki pemerintah tidak boleh dibatasi
kekuasaannya
(machtsstaat), bersifat totaliter, dan
tidak mengenal adanya klas sosial.
Manusia dibebaskan dari
keterikatannya atas pemilikan pribadi tanpa
penindasan dan paksaan,
tetapi dalam mewujudkan cita-cita tersebut
realitasnya dilakukan
dengan cara paksa atau kekerasan. Negara hanya
dipandang sebagai alat
untuk mewujudkan masyarakat komunis dengan
kekerasan sebagai alatnya yang
sah (Miriam Budiadjo, 1993: 50-65)
3) Demokrasi Parlementer
Demokrasi parlementer memberikan kekuasaan
untuk membuat
undang-undang kepada
parlemen. Perkembangan demokrasi
parlementer di Indonesia
pernah dilaksanakan berdasarkan
Konstitusi
RIS 1949 dan UUDS
1950. Penerapan demokrasi parlementer
tersebut
mengalami kegagalan,
karena mengakibatkan melemahnya semangat
persatuan bangsa yang
telah berhasil mewujudkan kemerdekaan.
Penerapan demokrasi
parlementer saat iru ditandai oleh adanya
dominasi parlemen dan
partai-partai politik. Partai-partai
politik
membentuk koalisi yang
sering kali menjatuhkan kabinet,
sehingga
mengakibatkan pemerintah
tidak dapat menjalankan programnya
dengan baik. Masa
berlakunya demokrasi parlementer dimulai
ketika
keluarnya Maklumat
Pemerintah (Maklumat Wakil Presiden
Nomor X
tahun 1945), yang menganjurkan Pemerintah tentang pembentukan
partai-partai politik 3
November 1945 sampai dengan dikeluarkan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, yang
menetapkan UUD 1945 berlaku kembali.
4) Demokrasi Terpimpin
Demokrasi terpimpin
menonjolkan dominasi kekuasaan oleh
Presiden, bahkan
presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif
turut campur tangan di
bidang yudikatif dan
legislatif. Pada bidang
yudikatif presiden melakukan pembatasan terhadap kebebasan badan
pengadilan dan
pada bidang legislatif presiden
meniadaan fungsi
kontrol DPR. Selain itu
terjadi pembatasan peranan pers, meluasnya
peran ABRI sebagai
kekuatan sosial-politik, dan semakin
berkembangnya pengaruh
komunis. Demokrasi terpimpin di
Indonesia
diterapkan semenjak Dekrit Presiden 5 Juli 1959
sampai 30 September
1965 (G 30 S/PKI)
5) Demokrasi Pancasila
Demokrasi Pancasila
berasaskan nilai-nilai Pancasila sebagai
pedomannya. Secara formal
terkandung makna bahwa setiap
pengambilan keputusan
hendaknya mengutamakan prinsip musyawarah
untuk mufakat. Sedangkan
secara material menunjukkan sifat
kegotongroyongan sebagai
pencerminan kesadaran budi pekerti yang
luhur sesuai dengan hati
nurani manusia dalam bersikap dan
berperilaku sehari-hari,
baik sebagai individu maupun anggota
masyarakat.
Istilah Demokrasi
Pancasila digunakan secara resmi mulai tahun
1968 melalui Tap MPR No.
XXXVII/MPR/1968 tentang Pedoman
Pelaksanaan Demokrasi
Pancasila. Esensi demokrasi Pancasila adalah
kerakyatan yang dipimin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,
berperikemanusiaan yang
adil dan beradab, berperpersatuan Indonesia,
dan yang berkeadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Konsep ini
konsisten dengan pengakuan
bahwa Pancasila sebagai dasar negara
RI, ideologi nasional, dan
sumber hukum dasar negara.
Mulai 1 Oktober
1968, demokrasi Pancasila yang murni dan
konsekuen berdasarkan UUD
1945 diterapkan dengan langkah-langkah
sebagai berikut ini.
a) Membatalkan berlakunya ketetapan MPRS No.
III Tahun 1963
tentang Masa Jabatan Presiden Seumur Hidup dan
diganti menjadi
jabatan elektif setiap
lima tahun, berdasarkan Ketetapan MPRS No.
XIX/MPRS/1966
b) Memberikan hak kontrol DPR Gotong Royong (DPRGR),
pimpinan
DPRGR tidak lagi berstatus
sebagai menteri. Presiden tidak boleh
ikut campur dalam
permasalahan intern anggota badan legislatif .
c) ABRI yang memainkan peranan penting dalam
Golongan Karya,
diberikan landasan
konstitusional secara formal.
d) Hak-hak asasi diusahakan untuk
diselenggarakan secara lebih baik
dengan memberikan
kebebasan kepada pers untuk menyatakan
pendapat. Partai-partai
politik diberikan kebebasan untuk bergerak
dan menyusun kekuatannya
dengan harapan terbinanya partisipasi
golongan-golongan dalam
masyarakat.
e) Diadakan pembangunan ekonomi secara teratur
dan ter
Nilai-nilai demokrasi
Pancasila yang akan diwujudkan dalam
kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan benegara diterapkan dengan
kebijakan-kebijakan yang
dilandasi nilai-nilai berikut ini.
a) Setiap orang mempunyai kedudukan, hak, dan
kewajiban yang
sama sebagai warga negara
sekaligus warga masyarakat.
b) Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang
lain.
c) Mengutamakan musyawarah dalam pengambilan
keputusan untuk
kepentingan bersama.
d) Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi
oleh semangat
kekeluargaan.
e) Menghormati dan menjunjung tinggi setiap
keputusan yang dicapai
sebagai hasil musyawarah.
f) Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan
melaksanakan hasil
keputusan musyawarah.
g) Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan
bersama di atas
kepentingan pribadi atau
golongan.
h) Musyawarah
dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati
nurani yang luhur.
i) Keputusan yang diambil harus dapat
dipertanggungjawabkan
secara moral kepada Tuhan
Yang Maha Esa, menjunjung tinggi
harkat dan martabat
manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan,
mengutamakan persatuan dan
kesatuan demi kepentingan
bersama.
j) Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil
rakyat untuk
melaksanakan
permusyawaratan.
Untuk mewujudkan
nilai-nilai tersebut, maka demokrasi Pancasila
dilaksanakan melalui sepuluh pilar (The Ten Pilars of Indonesian
Constitusional Democracy)
menurut Sanusi (dalam Udin S. Winataputra,
2004: 76-77) sebagai
berikut ini.
a) Demokrasi Indonesia berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
b) Demokrasi Indonesia berdasarkan Hak Asasi
Manusia.
c) Demokrasi Indonesia berdasarkan Kedaulatan
Rakyat.
d) Demokrasi Indonesia berdasarkan Kecerdasan
Rakyat.
e) Demokrasi Indonesia berdasarkan Pemisahan
Kekuasaan Negara.
f) Demokrasi Indonesia berdasarkan Otonomi
Daerah.
g) Demokrasi Indonesia berdasarkan Supremasi
Hukum (Rule of Law).
h) Demokrasi Indonesia berdasarkan Peradilan
yang bebas.
i) Demokrasi Indonesia berdasarkan Kesejahteraan
Rakyat.
j) Demokrasi Indonesia berdasarkan Keadilan
Sosial.
Keterlaksanaan sepuluh
pilar demokrasi Pancasila tersebut dapat
ditilik melaui
prinsip-prinsip demokrasi, sebagaimana uraian berikut.
a) Pemerintahan berdasarkan konstitusi.
b) Pemilu yang demokratis.
c) Pemerintahan daerah (desentralisasi
kekuasaan).
d) Pembuatan undang-undang secara hierarkhis.
e) Sistem peradilan yang independen.
f) Kekuasaan lembaga Kepresidenan.
g) Media yang bebas.
h) Kelompok-kelompok kepentingan.
i) Hak masyarakat untuk tahu (transparan).
j) Melindungi hak-hak minoritas.
k) Kontrol sipil atas militer.
Pelaksanaan demokrasi
Pancasila sampai saat ini masih
banyak
kelemahan, tetapi bukan
terletak pada landasan filosofis, ideologis,
dan
sumber hukum dasarnya,
melainkan pada mekanisme sistem demokrasi
atau pelaksanaan
demokrasi. Nilai demokrasi yang paling
hakiki
(universal), bahwa
aspirasi rakyat sebagai titik sentral kehidupan
bermasyarakat dan bernegara diwujudkan dalam hak pilih tanpa
pandang bulu. Perkembangan demokrasi Pancasila telah
memperoleh
kemajuan, antara lain
dengan dilakukannya amandemen terhadap UUD
1945 dan diterbitkannya berbagai
peraturan pelaksanaannya.
Berbagai
peraturan perundangan yang
telah diterbitkan, di antaranya: UU tentang
HAM tahun 1999, UU tentang
Pengadilan HAM tahun 2000, serta UU
tentang Parpol dan Pemilu
mulai tahun 2002
No comments:
Post a Comment